Nenek
Asiyani didakwa terkena pasal 12 junto
pasal 82 ayat q uu 18 tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, ilegal loging. Dalam pasal
tersebut nenek Asiyani bisa terkena penjara maksimal 5 tahun. Dalam kasus itu
nenek asiyani diduga menebang 7 batang kayu pohon jati milik dinas perhutani.
Menurut tutur nenek asiyani pohon tersebut memang lahan milik dia sendiri. Itu
juga terbukti dengan sisa penebangan hutan dan surat tanah dan kesaksian kepala
desa setempat yang membenarkan bahwa lahan yang dijadikan tempat penebangan
hutan itu milik nenek asiyani.
Kasus
ini menurut analisa saya sangat dipaksakan dan memberatkan korban yang
tergolong orang miskin dan buta akan hokum. Pasal yang dipakai untuk nenek
asiyani juga terlalu berat yaitu tentang illegal loging padahal menurut analisa
saya pasal yang digunakan seharusnya pasal tentang pencurian biasa.
Pasal
tentang illegal loging harusnya ditunjukan untuk perusahaan atau lembaga yang
dengan sengaja merusak hutan dan illegal loging untuk perusahaannya yang
mengakibatkan kerugian yang besar. Kita juga tahu illegal loging di Indonesia
memandang sebelah mata dimana perusahaan yang memiliki dana yang besar mereka
bisa lelusa untuk menebang hutan milik dinas perhutani.
Hukum
di Indonesia perlu adanya revisi tentang hukum bagi rakyat miskin. Di
Indonesia sudah banyak kasus yang
menjerat orang miskin yang buta akan hukum. Pemerintah harus tegas dalam
memandang sebuah kasus apalagi bagi rakyat miskin seperti nenek asiyani. Dalam
kasus nenek asiyani terkesan memaksakan pasal yang menjeratnya padahal sudah
ada bukti bahwa pohon tersebut ditanam dilahan milik nenek asiyani. Seharusnya
nenek asiyani bisa terbebas dari kasus illegal loging dan terkena pasal yang
ringan misalkan tentang penebangan pohon jati yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam
kasus nenek Asiyani hakim harus lebih bijak memandang kasus tersebut. Apalagi
hanya 7 batang pohon jati. Memang hukum harus ditegakan tetapi kita juga harus
teliti dalam menangani kasus tersebut apalagi yang terkena seorang nenek yang
sudah berumur 63 tahun dengan kasus yang ringan. Kita contoh saja apakah
hukumnya sama bagi yang mereka mencuri 7 batang pohon jati dengan mereka yang
mencuri pohon berhektar-hektar luasnya. Dalam global memang sama mereka mencuri
pohon tetapi substansinya kan berbeda. Nilai dari mencurinya itu kan berbeda.
Dalam kasus pembunuhan berencana dengan pembunuhan tidak sengaja pasti akan
mendapatkan hukuman yang berbeda walau sama-sama konteks membunuh.
Dalam
kasus ini media sangat berpengaruh dalam sebuah kasus hukum. Apabila kasus
hukum yang diderita orang miskin dan tercium media maka kasus iku akan semakin
dipermudah tetapi apabila kasus itu tidak tersentuh media maka yang rakyat
miskin tidak tahu akan hukum semakin teraniaya oleh hukum tersebut. Sebagai
contoh nenek asiyani setelah mendekam dalam penjara 3 bulan tanpa kejelasan
hukum baru dia boleh ditangguhkan penahanan gara-gara tercium oleh media.
Seharusnya hukum lebih melek entah itu udah terkonsumsi oleh media atau tidak
hukum harus adil.
Semoga
dalam kasus kedepan seorang penegak hukum akan lebih bijaksana baik itu untuk
orang kaya maupun miskin. Agar hukum di Indonesia lebih adil sehingga rakyat
merasa tentram dan nyaman.
Memang
hukum harus ditegakan seadil-adilnya tetapi dalam kasus ini hukum ditegakan
lebih condong ke rakyat miskin yang buta akan hukum. Harusnya kasus ini menjadi
pelajaran bagi penegak hukum bahwa jangan hanya warga miskin yang terkena hukum
tetapi para pencuri kayu yang merugikan Negara ratusan juta rupiah yang harus
mereka perhatikan. Kalau dilihat yang tertangkap kasus illegal loging
pembakaran hutan yang tertangkap hanya individual saja padalah para perusahaan
banyak yang terjerat kasus tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar